Rate This
Oleh : Suadi
Inovasi, vol6/XVIII/Maret 2006; http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=133#top
1. Pendahuluan
Sejak UNCLOS 1982 ditetapkan dan diikuti lahirnya Undang-Undang No. 5/1985 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), secara geografis 75% wilayah negeri ini merupakan laut. Dari aspek geografi inilah para ahli sejarah ekonomi memulai kajian nusantara [1], dimana peran laut oleh Houben [2] dikatakan “uncontested”. Peran perikanan sebagai salah satu industri di pesisir nampak masih sangat kecil (10% dari PDB Pertanian) dan berdasarkan data yang dilaporkan van der Eng [3] sektor ini masih berada di bawah sektor lainnya dalam kurun waktu lebih dari satu abat terakhir. Sektor perikanan dan kelautan mulai mendapat perhatian lebih ketika Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan lahirnya Departemen Ekplorasi Laut dengan Keppres 136/1999, atau kini Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Potensi sumberdaya alam yang besar (Tabel 1) dan daya serap tenaga kerja yang diperkirakan lebih dari 10 juta orang [4] menjadikan sektor ini penting. Pemerintah tahun 2006 ini bahkan menargetkan produksi perikanan mencapai 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, konsumsi ikan 28 kg/kapita/tahun, penyerapan tenaga kerja 7,7 juta orang, dan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional 3,1% [5].
Tabel 1. Potensi ekonomi perikanan laut Komoditas Potensi
Komoditas Potensi
Produksi (mt) Nilai (US$ juta)
Perikanan laut 5.006 15.101
Budidaya laut 46.7 46.7
Budidaya payau 1 10
Bioteknologi laut - 4
Jumlah total - 75.801
Sumber: Dahuri [4]
Perikanan laut diperkirakan menyumbang 78% dari total produksi perikanan tahun 2002 akan menjadi tumpuan sektor ini. Kemiskinan yang berhadapan dengan kerapuhan lingkungan hidup, konflik dan dualisme ekonomi, serta tumpang tindihnya dan tidak berdayanya perangkat kebijakan, merupakan tantangan yang pada gilirannya akan berimbas pada keberkanjutan pertumbuhan sektor ini.
2. Pesisir dan Perikanan: Beberapa Momen Penting
2.1. 1400an-1600an: “Age of Commerce”
Abad ke-7 dan ke-8 perdagangan telah menjadi ciri dari beberapa wilayah seperti di Selat Malaka dan Laut Jawa. Perkembangan ekonomi dan formasi negara bahkan sangat terkait dengan aktivitas ini [2]. Hal tersebut juga tergambar dari hikayat yang berkembang yang menunjukkan hubungan dialektis antara penguasa dan pedagang [6].
Periode 1450-1680 menjadi periode emas ekonomi pesisir, atau Reid menyebut “age of commerce” [6]. Puncak keemasan ekonomi nusantara merupakan hasil dari spesialisasi ekonomi yang tinggi (misalnya produk pangan untuk pasar domestik dan beberapa hasil pertanian, hutan dan hasil laut, serta emas untuk pasar global), jaringan perdagangan yang luas, merebaknya monetisasi dan urbanisasi [2].
Bagaimana industri perikanan periode ini? Perdagangan mutiara dan kerang-kerangan cukup penting [2], namun keterangan Zuhdi [7] tentang perikanan Cilacap yang hanya menggunakan alat tangkap sederhana dan nelayan mengolah hasilnya untuk dibarter dengan wilayah pedalaman menjadi panduan kondisi lain perikanan di era ini.
2.2. 1800an-Pertengahan 1900an: Pasang – Surut Perikanan
Tarik-menarik politik pesisir dan pedalaman menandai maju-mundurnya peran ekonomi wilayah ini. Di Jawa misalnya, Houben [8] membagi menjadi tiga periode yaitu 1) 1600-1755 dimana terjadi perubahan orientasi politik dari pesisir ke pedalaman atau dari perdagangan ke pertanian yang ditandai naik-turunnya kekuasaan Mataram; 2) periode 1755-1830 Jawa terpecah belah dan berakhir dengan perang. Belanda memanfaatkan momen ini melalui serial kerjasama pengembangan pertanian tanaman ekspor dengan para penguasa Jawa, sehingga tahun 1757 Belanda telah menguasai daerah pedalaman [9]. 3) 1830-1870 merupakan periode menguatnya kolonialisme. Periode ini ditandai dengan diberlakukannya tanam paksa pada tahun 1830 [10].
Untuk mendukung ekspor pemerintah membangun pelabuhan, namun pelabuhan yang tumbuh berkarakter menghisap potensi alam dan bumiputera [7]. Keuntungan tanam paksa tidak diterima rakyat, tetapi oleh orang Eropa, pedagang China, importir dan eksportir selain pemerintah Belanda [10]. Tanam paksa juga diperkirakan mendorong penurunan tampilan industri perkapalan [11].
Sejak akhir 1800an perikanan telah berorientasi pada pasar yang ditandai dengan pertumbuhan spektakuler usaha pengolahan dan pemasaran ikan [12]. Bahkan, pada awal abad ke-20 Kota Bagan Si Api Api di mulut Sungai Rokan telah menjadi salah satu pelabuhan perikanan terpenting di dunia dengan kegiatan utama ekspor perikanan [13]. Jawa dengan populasi 1/4 dari total penduduk Asia Tenggara pada tahun 1850 telah menjadi pasar terpenting produk perikanan khususnya ikan kering (asin) dan terasi [12]. Merujuk pada data van der Eng [3], kontribusi perikanan terhadap total PDB pada tahun 1880 dan 1890 mencapai di atas 2% atau tertinggi yang pernah dicapai perikanan dari seluruh periode antara 1880-2002.
Pasang-surut perikanan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, permasalahan ketersediaan sumberdaya, ekologi, ekonomi dan sosial [14]. Kebijakan monopoli garam oleh pemerintah dengan meningkatkan biaya sewa dari f6.000 pada tahun 1904 menjadi f32,000 di tahun 1910 menghasilkan stagnasi dan penurunan peran industri perikanan yang ditunjukkan oleh penurunan ekspor dari 25.900 ton ikan kering di tahun 1904 menjadi 20.000 ton di tahun 1910. Tahun 1912 perikanan Bagan Si Api-Api telah mengalami kemunduran berarti [13]. Hal yang serupa dan permasalahan pajak dan kredit juga terjadi di Jawa dan Madura [14]. Permasalahan ekologi seperti ekstraksi bakau dan pendangkalan perairan, serta menurunnya sumberdaya ikan muncul dan mendorong perikanan bergerak lebih jauh dari pantai.
Pertumbuhan industri perikanan periode 1870an sampai 1930an oleh Butcher [12] disebut sebagai menangkap ikan lebih banyak dengan teknologi yang sama. Periode ini diikuti oleh perubahan teknologi dan perluasan daerah penangkapan sebagai akibat modernisasi perikanan dan semakin langkanya ikan di daerah pinggir (1890an-1930an). Peran nelayan Jepang dalam hal ini patut dicatat karena mereka masuk ke Indonesia dengan profesi salah satunya sebagai nelayan [7]. Butcher [12] menilai nelayan-nelayan ini datang dengan dukungan subsidi pemerintahan Meiji yang sedang giat menggalakan industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju membuat nelayan Jepang mendapat keuntungan yang lebih besar dari exploitasi sumberdaya ikan.
2.2. Awal Kemerdekaan dan Akhir Orde Lama : Pertarungan Politik
Kebijakan ekonomi era ini banyak yang tidak dilaksanakan karena berbagai pergolakan politik. Strategi pemulihan terus dilaksanakan hingga tahun 1957, namun penampilan memburuk pada waktu Ekonomi Terpimpin yang akhinya menghasilkan kemunduran secara struktural ekonomi Indonesia antara tahun 1940 dan 1965 [15]. Di pertengahan 1960an ekonomi sangat merosot dengan inflasi mendekati 500% [16].
Diantara wacana politik ekonomi perikanan dan kelautan adalah 1) perjuangan Konsepsi Archipelago sesuai deklarasi Desember 1957, 2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960, dan 3) perikanan sebagai salah satu “mainstream” pembangunan nasional.
Konsepsi archipelago diperkuat dengan UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, yang diikuti Keppres 103/1963 untuk memberikan pengertian lebih luas tentang lingkungan maritim. UU tersebut tidak hanya memperkokoh konsep wawasan nusantara, bagi perikanan perangkat kebijakan ini menguntungan karena secara prinsip kapal ikan asing tidak dibenarkan beroperasi di dalam lingkungan maritim Indonesia [17].
Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di atur dalam UUPA (pasal 47 ayat 2). Walaupun sejarah penyusunannya tidak diwarnai debat antara konsep “kepemilikan bersama” dan “kepemilikan tunggal” [18] sebagaimana di Jepang yang memperkuat konsep hak atas sumberdaya ikan dalam perundangan perikanannya [19], konsepsi ini menurut Saad [18] memberikan ruang bagi pengakuan “kepemilikan tunggal”. Sayangnya, peraturan pemerintah yang dimaksud dalam UUPA belum atau tidak ditetapkan sampai saat ini dan juga tidak menjadi acuan lahirnya UU No. 9/1985 tentang perikanan [18] ataupun UU Perikanan No. 31/2004.
Sejak ekonomi terpimpin dicanangkan di tahun 1959, bersama minyak bumi dan hasil hutan, perikanan menjadi harapan pengerak ekonomi nasional seperti tertuang dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun Dewan Perantjang Nasional (Depernas, sekarang Bappenas) di tahun 1961. Target pendapatan dari ekstraksi sumberdaya perikanan menurut Pauker [20] mencapai US$ 500 juta, namun karena ekspektasi yang sangat berlebihan, target tersebut akhirnya direvisi menjadi US$ 12,5 juta dalam sidang kabinet.
Data yang dilaporkan Krisnandhi [21] dapat menjadi acuan perikanan era ini. Setelah mengimpor ikan pada era awal kemerdekaan, produksi perikanan terus meningkat dari 320 ribu ton pada tahun 1940 menjadi 324 ribu ton pada tahun 1951, dan kemudian menjadi 661 ribu ton pada tahun 1965. Pertumbuhan produksi tertinggi 7,4% per tahun dicapai pada periode 1959-1965, namun produktivitas per kapal menurun dari 4 ton di tahun 1951 menjadi 2,8 ton pada tahun 1965. Produktivitas nelayan juga turun dari 1 ton menjadi 0,7 ton dalam periode yang sama. Basis perikanan pada era ini sepenuhnya di daerah pantai dan hanya sedikit industri perikanan modern yang berkembang.
2.3. Orde Baru: Terabaikan dan Dualisme Ekonomi Perikanan
Hill [16] dalam studinya tentang ekonomi Indonesia sejak 1966 mencatat berbagai keberhasilan orde baru seperti kemampuan memanfaatkan “durian runtuh” harga minyak yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang berlanjut, perbaikan pendidikan, kesehatan dan gizi, selain beberapa catatan tantangan bagi masa depan. Wie [22] memberikan catatan lain diantara keberhasilan tersebut seperti meluasnya disparitas ekonomi antara yang kaya dan miskin, desa dan kota, bagian barat dan timur Indonesia, dan meningkatnya kroni-konglomerat. Pengelolaan sumberdaya alam yang buruk mendapat sorotan Hill khususnya pengelolaan hutan.
Bagaimana perikanan di era ini? Produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1,923 ribu ton pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju pertumbuhan produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun (1974-1978). Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung menurun (Tabel 2). Produktivitas perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan laju yang berfluktuasi (khususnya kapal), secara nomimal meningkat dari rata-rata 4,3 ton/kapal periode 1974-1978 menjadi 8,4 ton per kapal periode 1994-1998.
Motorisasi perikanan merupakan salah satu penyebab peningkatan produksi sektor ini. Tahun 1966 motorisasi hanya meliputi 1.4% dari total armada perikanan sebanyak 239.900 unit, menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total armada pada tahun 1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8% dari total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya 21% berupa kapal motor (“inboard motor”), dan bagian terbesar adalah perahu motor tempel dan perahu tanpa motor. Dengan demikian, basis perikanan masih dominan di wilayah pantai.
Konflik antara perikanan skala besar dan skala kecil mewarnai sejarah perikanan laut orde baru sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Dualisme perikanan ditunjukkan oleh Bailey [23] pada dua kasus penting yaitu 1) introduksi trawl dan purse seine dan 2) pengembangan budidaya udang. Kasus trawl menguatkan tesis Hardin [24] tentang tragedi sumberdaya kepemilikan bersama. Ketika nelayan skala kecil dengan produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat) semakin tersingkirkan oleh nelayan skala besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas masing-masing mencapai 70,4 ton/unit dan 38 ton/unit di tahun 1980, respon nelayan skala kecil adalah melawan dengan berbagai cara termasuk menggunakan bom molotov [23]. Kondisi ini yang mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres 39/1980 yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang penghapusan jaring trawl di seluruh perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983.
2.4. Pasca Reformasi : Harapan menjadi “Prime Mover”
Struktur perikanan laut di era terakhir ini juga belum banyak bergeser dimana perikanan skala kecil masih dominan yang ditunjukkan oleh 75% armada perikanan adalah perahu tanpa motor dan perahu motor tempel. Produksi perikanan dalam periode 1999-2001 tumbuh 2,5% per tahun, sedangkan armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu di bawah 1% per tahun. Pertumbuhan nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi (2,1%).
Jika periode ini dibandingkan periode sebelumnya (1994-1998), produksi perikanan tumbuh lebih rendah (2,5%), demikian juga produktivitas kapal baik secara nomimal maupun laju pertumbuhan. Rata-rata produktivitas perikanan periode 1994-1998 mencapai 8,4 ton/kapal dan 1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5 ton/nelayan periode tahun 1999-2001. Laju pertumbuhan produktivitas kapal mencapai 3,0% periode 1994-1998, turun menjadi 1,6% periode 1999-2001.
Berdasarkan Nota Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp 450 miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004 turun menjadi Rp 282,8 miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan target PNBP sebesar Rp 700 miliar pada tahun 2005 juga tidak tercapai karena belum optimalnya perjanjian bilateral dengan Cina, Filipina dan, Thailand. Kondisi ini menjadi satu tantangan bagi sektor perikanan dan kelautan untuk menjadi salah satu “the prime mover” atau “mainstream” ekonomi nasional.
3. Pola Pertumbuhan dan Kebutuhan Akan Pengelolaan : Catatan Ringkas
Pertumbuhan perikanan dalam jangka waktu 50 tahun terakhir (1951-2001) cukup dinamis (Tabel 2). Pertumbuhan yang tinggi selama periode 1959-1965 diperkirakan tidak terlepas dari upaya untuk medorong perikanan sebagai salah satu penggerak ekonomi, walaupun produktivitas perikanan secara nominal cenderung menurun. Sementara, pertumbuhan produksi yang tinggi selama orde baru terjadi pada era pertenggahan 1970an sampai awal 1980an akibat pesatnya motorisasi perikanan yang mencapai rata-rata di atas 15% per tahun. Pertumbuhan ini sayangnya harus dibayar dengan berbagai konflik. Pertumbuhan produksi dua periode terakhir orde baru semakin mengkhawatirkan karena nelayan tumbuh melampaui produksi perikanan. Pertumbuhan produtivitas nelayan pun negatif dalam dua periode ini (masing-masing -0,3%). Periode tahun 1999-2001 juga tidak terlalu berbeda jauh. Gambaran ini menguatkan dugaan bahwa sumberdaya ikan semakin terbatas untuk pertumbuhan secara berkelanjutan ekonomi pesisir.
Hasil analisis data FAOSTAT [26] juga menunjukkan pola pertumbuhan produksi perikanan Indonesia dengan kecenderungan yang hampir sama, menurun terutama pada periode terakhir 1996-2001 (2,9%) (periode 1999-2001 hanya 1,9% per tahun). Pola ini tidak berbeda jauh dengan pertumbuhan produksi perikanan beberapa negara di Asia khususnya Jepang, Filipina dan Thailand (Tabel 3).
Tabel 2. Keadaan Umum Perikanan Indonesia, 1951-2001
Periode Produksi* Nelayan Kapal Ikan
(ton) Pertumbuhan (%) (orang) Pertumbuhan (%) (unit) Motorisasi(%)
1951-1955 375 4,9 389.2 7.5 97.34 0,5
1956-1958 418 1,0 537.667 13.1 141.533 1,0
1959-1965 526 7,4 825.286 2.8 206.6 2,5
1966-1967 694 -5,9 866.5 -3.5 244.65 3,4
1968-1973 810 3,5 n.a. n.a 279.734 2,9
1974-1978 1.083 5,3 825.825 0.9 253.581 7,3
1979-1983 1.459 5,0 1.165.433 5.8 286.599 21,8
1984-1988 2.041 4,8 1.358.172 0.9 316.06 30,4
1989-1993 2.552 4,9 1.650.517 5.2 367.729 35,0
1994-1998 3.419 3,9 2.045.477 4.2 407.018 41,2
1999-2001 3.819 2,5 2.486.144 2.1 458.003 48,0
Sumber: Analsisis Data Sekunder, 2006 (Data tahun 1951-1966 [21], 1969-1986 [23], 1991-2001 [25])
Angka pembulatan, data yang disajikan adalah nilai rata-rata masing-masing periode
Tabel 3. Pertumbuhan Tahunan Perikanan di Tiga Negara Asia, 1961-2001
Periode Filipina Thailand Jepang
Prod*(ton) Pertumb (%) Prod*(ton) Pertumb (%) Prod*(ton) Pertumb (%)
1961-1965 445 10,7 265 26,5 4.758 0,6
1966-1970 707 7,2 735 15,5 6.155 6,9
1971-1975 1.011 5,7 1.144 0,5 8.204 0,9
1976-1980 1.173 0,1 1.415 3,5 8.369 0,5
1981-1985 1.166 1,9 1.468 2,7 9.322 1,1
1986-1990 1.362 3,8 1.905 1,7 9.273 -4,1
1991-1995 1.519 -0,7 2.275 3,7 5.827 -8,8
1996-2001 1.572 2,2 2.259 -1,1 4.025 -3,6
Sumber: Analisis Data [26], 2006,
Angka pembulatan, nilai produksi adalah nilai rata-rata
Perikanan Jepang terus tumbuh terbatas dan negatif pada tiga periode terakhir. Pertumbuhan yang terbatas sejak awal era 1970an terkait dengan semakin meluasnya adopsi UNCLOS 1982 yang membatasi pergerakan perikanan lepas pantai dan samudra negeri ini. Penurunan ini mendorong Jepang mencari berbagai pola kerja sama dengan negara-negara di Asia termasuk Indonesia khususnya untuk perikanan tuna [27]. Sementara, perikanan Filipina tumbuh di bawah Indonesia pada periode 1996-2001 (2,2%), Thailand seperti halnya Jepang tumbuh negatif dalam periode terakhir (1,1%).
Kini, eksploitasi perikanan terus meningkat dengan pesat bahkan meliputi tiga dimensi dari daerah penangkapan ikan, sementara upaya konservasi dan rehabilitasi masih terbatas. Setelah Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan tahun 1998 melaporkan sebagian besar sumberdaya ikan diekploitasi secara intensif, hasil pengkajian stok tahun 2001 diketahui 65% sumberdaya diekploitasi pada tingkat penuh atau berlebihan, terutama di wilayah bagian barat Indonesia. Karena itu, peluang industri perikanan akan bertumpu pada kawasan timur Indonesia dan ZEEI [28].
Transformasi struktur perikanan masih tetap menjadi tantangan, sebagaimana juga upaya pengembangan alternatif pendapatan untuk menurunkan tekanan exploitasi sumberdaya. Menuju samudra tidak hanya dibatasi oleh kondisi ini, juga akan oleh berbagai perangkat pengelolaan perikanan dunia misal oleh “Indian Ocean Tuna Commission” (IOTC) dan “International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas” (ICCAT). Sementara, keterbatasan armada perikanan nasional juga menjadi penyebab intensifnya penangkapan ikan ilegal. SEAPA melaporkan setiap tahun 3.000 kapal ikan illegal dari Thailand menangkap ikan di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Laut Arafura [29].
Pengelolaan sumberdaya perikanan semakin dibutuhkan saat ini dan perlu mendapat porsi perhatian yang besar. Jika Hill [16] telah menunjukkan buruknya pengelolaan hutan, perikanan sebagai suatu sumberdaya yang penuh ketidak-pastian (“uncertainties”) baik karena sifat biologi maupun karakter pemanfaatannya yang masih dianggap bersifat “open-access” dan “common properties” tentu akan lebih menantang. Catatan singkat berikut merupakan beberapa tawaran pengelolaan perikanan:
1) Mempertimbangkan kembali hak atas sumberdaya. Hak sepeti ini mempunyai akar sejarah dalam tradisi masyarakat pesisir Indonesia, walaupun sebagian besar tidak berdaya atau hilang karena berbagai perangkat kebijakan nasional. Pemerintah Belanda telah menguatkan tradisi ini dalam ketentuan “Territoriale Zee en Maritene Kringen Ordonantie” (TZMKO) tahun 1939 untuk melindungi nelayan dan konservasi sumberdaya ikan. Pemerintahan Soekarno juga menguatkan dengan UUPA walaupun perangkat di bawahnya tidak ada. Otonomi daerah tentu menjadi harapan bagi upaya ini.
2) Memperkuat sistem MCS (“monitoring, controlling, and surveillance”). Upaya ini terbukti dalam beberapa kasus berhasil mengurangi tekanan eksploitasi oleh perikanan ilegal dan juga menjadi alasan penting peningkatan PNBP perikanan selama periode tahun 2001-2003. MCS juga dapat menjadi salah satu perangkat penting perencanaan pengelolaan perikanan.
3) Perikanan tuna masih akan menjadi daya tarik di ZEEI atau laut lepas dan pengelolaan oleh internasional atas sumberdaya ini semakin menguat kini. Kemampuan diplomasi dengan dukungan pengetahuan biologi sumberdaya dan status pemanfaatannya sangat dibutuhkan. Indonesia tentu memiliki daya tawar yang sangat tinggi untuk perikanan ini terutama dengan diketahuinya daerah pengasuhan sebagian jenis sumberdaya tuna di selatan Jawa-Bali.
4) Insentif untuk konservasi dan rehabilitasi sumberdaya perikanan melalui program pengkayaan stok dan rehabilitasi habitat. Produksi masal benih ikan menjadi kunci program pengkayaan stok dan juga upaya pengembangan industri budidaya. Upaya ini sangat potensial berkembang dengan keberhasilan produksi benih beberapa jenis yang terancam misalnya kerapu. Sebelumnya, Indonesia pernah berhasil dengan program “backyard hatchery” untuk udang, namun seiiring dengan surutnya budidaya udang windu, usaha ini juga surut, sebaliknya kini budidaya justru berbalik ke spesies introduksi misal Vannamei. Sementara program pengkayaan stok masih sangat terbatas, rehabilitasi habitat ikan mendapat perhatian misal melalui program Coremap yang didanai donor internasional.
5) Integrasi perikanan kedalam pembangunan desa. Kelangkaan sumberdaya ikan semakin menyulitkan nelayan untuk memperbaiki kualitas hidupnya, dan kerapuhan lingkungan hidup seperti sedang berjalan seirama dengan kemiskinan. Sementara, orientasi pembangunan perikanan masih bersifat mengejar target. Berkembangannya usaha berbasis kelompok seperti budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwata termasuk usaha berbasis wanita di beberapa wilayah menjadi modal sosial untuk mengintegrasikan perikanan kedalam pembangunan desa secara menyeluruh.
Tentu, tersedia banyak teknik dan konsep pengelolaan perikanan, dan diskusi serta upaya pemberdayaannya perlu terus dikembangkan. “Sense of urgency” dan “political will” khususnya dari pemerintah untuk membangun secara berkelanjutan industri ini menjadi salah satu kuncinya.
4. Penutup
Industri perikanan laut tumbuh dinamis dalam lintas sejarah ekonomi nasional. Dalam setengah abad terakhir beberapa aspek perikanan cenderung menurun tampilannya, sehingga pengelolaan sumberdaya menjadi kebutuhan untuk menjamin keberlanjutan pembangunan perikanan dan kelautan.
5. Daftar Pustaka
  1. Lombard, D., 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu. Bagian I. PT Gramedia. Jakarta
  2. Houben, V.J.H., 2002. The Pre-modern Economies of the Archipelago, in Dick, H., et.al. (eds). The Emergence of National Economy: an Economic History of Indonesia, 1800-2000. Southeast Asian Publication Series. Singapore.
  3. Van der Eng, P., 2002. Indonesia’s Growth Performance in the 20th Century, in A. Maddison et al. (eds.), The Asian Economies in the Twentieth Century. Edward Elgar. Cheltenham.
  4. Dahuri, R. 2004. Strategi Nasional Kelautan dan Perikanan untuk Pertumbuhan Ekonomi, Tenaga Kerja, dan Pengentasan Kemiskinan. Menteri Kelautan dan Perikanan dalam pertemuan dengan KADIN. 6 Juli 2004.
  5. Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan pada acara DKP Outlook 2006 Tanggal 17 Januari 2006. www.dkp.go.id Diakses 1 Februari 2006.
  6. Manguin, PY.,1991. The Merchant and the King: Political Myths of Southeast Asian Countries Coastal Polities. Indonesia 52 (Oktober 1991): 41-54.
  7. Zuhdi, S., 2002. Cilacap (1830-1942): Bangkit dan Runtuhnya suatu Pelabuhan di Jawa. KPG. Jakarta.
  8. Houben, V.J.H., 1994. Trade and State Formation in Central Java 17th-19th Century, in G.J. Schutte (ed). State and Trade in the Indonesian Archipelago. KITLV Press. Leiden.
  9. Hoffman, J., 1979. A Foreign Investment: Indies Malay to 1901. Indonesia 27 (April 1979) : 65-92.
  10. Neil, R.V., 1972, Measurement of Change under the Cultivation System in Java, 1837-1851. Indonesia 14 (October 1972) : 89-109.
  11. Dick, H.W., 1990. The Indonesian Interisland Shipping Industry. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore.
  12. Butcher, J.G., 2004. The Closing of the Frontier: A history of the Marine Fisheries at Southeast Asia c. 1850-2000. Institute of Southeast Asia Study. Singapore.
  13. Butcher, J.G. 1996. The Salt Farm and the Fishing Industry of Bagan Si Api-Api, 62 (October 1996): 91-122.
  14. Masyhuri, 1996. Menyisir Pantai Utara: Usaha dan Perekonomian Nelayan di Jawa dan Madura 1850-1940. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
  15. Booth, A., 2002. Pertumbuhan dan Kemandekan dalam Era Pembangunan Bangsa: Penampilan Ekonomi Indonesia dari 1950-1965, in Lindblad, J.T. (ed). Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
  16. Hill, H., 1996. Transformasi Ekonomi Indonesia sejak 1966: Sebuah Studi Kritis dan Konprehensif; Penerjemah Tim PAU Ekonomi UGM. Tiara Wacana. Yogyakarta.
  17. Likadja, F.E., and D.F. Bessie, 1988. Hukum Laut dan Undang-Undang Perikanan. Ghalia Indonesia. Jakarta.
  18. Saad, S., 2003. Politik Hukum Perikanan Indonesia. Lembaga Sentra Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta
  19. Makino, M., and H. Matsuda, 2005, Co-Management in Japanese Fisheries: Institutional Features and Transaction Costs. Marine Policy 29: 441-450.
  20. Pauker, G.J., 1961. Indonesia`s Eight-Year Development Plan. Pacific Affairs, Vol. 4. No. 2 (Summer, 1961): 115-130
  21. Krisnandhi, S., 1969. The Economic Development of Indonesia’s Sea Fishing Industry. Bulletin of Indonesian Economic Studies 5(1: March 1969): 49-72.
  22. Wie, T.K., 2002. The Soeharto Era and After: Stability, Development and Crisis: 1966-2000, in Dick, H., et.al (eds.), The Emergence of National Economy: an Economic History of Indonesia, 1800-2000. Allen and Unwin. Australia.
  23. Bailey, C., 1988. The Political Economy of Marine Fisheries Development in Indonesia. Indonesia 46 (October 1988): 25-38.
  24. Hardin, G., 1968. The Tragedy of the Commons. Sciences 162 (13 December 1968): 1243-1248.
  25. DKP, 2003. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2001, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
  26. FAOSTAT, 2005. http://faostat.fao.org. Diakses Januari 2006.
  27. Haward, M., and A. Bergin, 2001. The Political Economy of Japanese Distant Fisheries. Marine Policy (2001): 91-101.
  28. Widodo, J., and Suadi, Pengelolaan Perikanan Laut. (in press).
  29. http://www.seapabkk.org/fellowships/2002/anucha.html. Diakses 3 Februari 2006.